Judul dokumenter ini, yang terdiri atas portret/gambaran film pendek,
diturunkan dari sajak Jawa ‘Tirta Kencana’ yang dideklamasikan di
tempat pemakaman seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Deklamasi ini
untuk memperingatkan para generasi muda Indonesia bahwa kemerdekaan
bangsa Indonesia tercapai dan berhasil berkat keberanian dan semangat
perjuangan dan bukan pemberian Belanda. Seruan perjuangan karena dari
surga para pejuang yang gugur akan mengikuti kekurangan perbuatan kita
di dunia ini. Jugalah sajak ini memperingatkan bangsa Belanda bahwa
sekitar 4000 militer Belanda gugur dan dimakamkan di tanah Jawa. Gugur
untuk keperluan perang, yang mengalahkan Belanda.
Sekitar duapuluh orang yang bersangkutan dengan perang dekolonisasi ini
kami filmkan di Indonesia dan di Belanda. Pergantian refleksi/renungan
orang-orang yang pernah berlawanan. Nyonya Spoor yang sampai sekarang
tetap ingin memakamkan suaminya di Belanda. Ibu Moeliyati yang
menceritakan tidak dapat mencurahkan kesedihannya mengenai keluarganya
yang gugur takut ketahuan militer Belanda. Bo Keller yang sebagai
milter KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) mempertanyakan dirinya
apakah dulu dia tidak salah pilih. Wisnuadji yang pada awal revolusi
masih muda terpaksa lengannya diamputasi karena luka parah di Surabaya
dan akhirnya tidak dapat meneruskan perjuangannya.
Kenang-kenangan
kedua pihak yang dialami bersama, bergerak antara kini dan masa lalu
dan antara dua bangsa yang semakin berjauhan.
“Tirta Kencana” terlaksanakan juga berkat subsidi kementerian VWS, program “warisan perang” (2009)
|